Wednesday, June 3, 2015

IJAZAH PALSU, PRAKTIK RENDAHKAN PENDIDIKAN



Praktik jual beli ijazah kini menjadi sorotan dan sebuah pemberitaan nasional yang hangat, pascainspeksi mendadak dan penggeledahan oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, M Nasir ke sebuah perguruan tinggi swasta beberapa hari lalu (26/5/15). Sontak, hal itu memberikan sebuah kesaksian hidup bahwa ini ibarat gunung es yang hanya sebagian muncul ke permukaan, namun sisanya lebih banyak tenggelam dalam laut lepas yang tentunya sampai saat ini tidak banyak orang mengetahui itu.

Selanjutnya, ada satu hal mendasar yang kita perlu bahas bersama yakni, apa kepentingan adanya praktik jual beli ijazah? Jawabannya adalah demi kepentingan agar bisa mendapatkan gelar tanpa sebuah proses yang panjang dan lama. Cukup dengan membayar uang sejumlah puluhan juta rupiah, maka gelar pun baik tingkat Sarjana, Magister maupun Doktor bisa diraih di tangan.

Pertanyaan selanjutnya adalah inikah yang disebut proses membelajarkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah dengan membeli ijazah tanpa harus duduk di bangku kuliah dengan waktu tertentu yang ditetapkan, yang bersangkutan kemudian dapat memiliki ilmu yang didapat? Apakah yang bersangkutan bisa menggunakan ilmunya untuk kepentingan diri dan lingkungannya?

Marilah kita jawab sendiri-sendiri saja. Namun terlepas dari hal tersebut, praktik jual beli ijazah sangat tegas merupakan tindakan kriminal, baik yang menjual maupun yang membeli. Tindakan kriminal disebut sebagai tindakan kriminal intelektual, sebab sudah menghalalkan segala cara.

Seharusnya pendidikan perlu dimaknai sebagai jalan membangun kejernihan dan kepekaan terhadap hidup serta kehidupan. Justru dengan mendapatkan ijazah tanpa melalui proses yang benar dan dibenarkan secara ilmiah, kemudian menutup kesadaran manusia untuk mengetahui yang benar dan yang salah, yang baik dan buruk, dan begitu seterusnya.


Praktik jual beli ijazah terjadi akibat sempitnya berpikir. Seolah ijazah disamakan dengan membeli sayur mayur di pasar, membeli ikan di pasar, dan lain seterusnya. Padahal ijazah secara substantif berkenaan dengan apa yang berada di balik ijazah itu sendiri, yakni pendidikan dan ilmu.

Mendapatkan ijazah berbentuk selembar kertas bukanlah akhir, karena sudah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu sebagai pertanggungjawaban administratif. Namun, yang lebih utama dari itu adalah bagaimana mempertanggungjawabkan selembar kertas bernama ijazah tersebut secara moral dan intelektual.

Secara moral dimaknai adalah apakah ilmunya mampu di-darma-bakti-kan bagi hajat hidup orang banyak. Sedangkan secara intelektual adalah bisa digunakan secara kritis dan transformatif dalam membaca persoalan-persoalan realitas sosial.

Selanjutnya, bagaimana seseorang kemudian dapat memiliki kompetensi dalam bidang tertentu, sementara yang bersangkutan tidak pernah mempelajarinya melalui proses pendidikan formal, mengutip pendekatan positivisme.

Pikiran sempit yang hanya menggunakan ijazah-sentris sesungguhnya menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan memandang ijazah sebagai jalan meningkatkan status sosial an sich dan kepentingan-kepentingan sektoral lainnya.

Tidak ada niatan dan keinginan untuk belajar karena menuntut ilmu secara tulus hati. Tidak ada kemauan dan kehendak untuk belajar karena kepentingan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan beradab. Tidak ada komitmen suci untuk belajar demi kemajuan pembangunan sumber daya manusia.

Yang ada hanyalah mengejar dan meraih ijazah untuk kepentingan sesaat. Mendapatkan ijazah hanya menjadi alat yang bernama kursi dan kekuasaan. Tidak ada yang bernama peningkatan kualitas hidup manusia. Sebaliknya yang ada hanyalah meningkatkan sesuatu hal yang bendawi dan tentunya sangat kering nilai-nilai kehidupan.

Bagaimana akan membangun bangsa yang besar, sementara republik ini masih diwarnai dengan praktik pendidikan yang tidak sehat, yang tidak bermoral, dan yang tidak beradab. Bagaimana akan melahirkan pribadi-pribadi manusia yang bermutu, sementara jalan yang ditempuh dalam dunia pendidikan melalui praktik jalan pintas.

Kontjaraningrat menyebutnya sebagai budaya menorobos, sebuah jalan yang tidak dihalalkan secara moral dan intelektual. Jalan yang ditempuh sudah tidak sehat. Oleh sebab itu, inilah yang disebut sebagai gagalnya pembangunan kemanusiaan.

Tatkala pribadi manusia di republik kita ini sudah dikotori oleh kepentingan sesaat yang lebih dekat dengan “kue tertentu”, ke depan bangsa ini akan terus menerus dihuni oleh manusia-manusia yang tidak memiliki prinsip hidup dan yang berkarakter tangguh. Republik ini pun akan kian masuk dalam jurang kehancuran.

sumber: http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/06/02/ijazah-palsu-praktik-rendahkan-pendidikan

No comments:

Post a Comment